BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelatih
ialah seseorang yang bertugas untuk mempersiapkan fisik dan mental olahragawan
maupun kelompok olahragawan. Sebagian besar pelatih merupakan bekas atlet.
Pelatih mengatur taktik, strategi, pelatihan fisik dan menyediakan dukungan
moral kepada atlet. Peran seorang pelatih tidak hanya melatih pelari untuk
dapat berlari cepat, ataupun melatih sekelompok orang (tim) untuk dapat bermain
basket dengan baik. Akan tetapi ia juga mendidik atlet untuk berdisiplin, kerja
keras, pantang menyerah dalam menjalani setiap aktivitas, dan sebagainya.
Seorang pelatih seyogyanya juga memiliki intelegensi yang tinggi, realistic,
praktis, percaya diri, inventif, dan mampu mengambil keputusan.
Untuk
dapat menjalankan profesinya secara efektif, seorang pelatih harus memiliki
pengetahuan dasar tentang ilmu keolahragaan (sport sciences), tidak hanya
menyangkut bidang kepelatihan, tetapi juga bidang pendukung lain seperti
biomekanik/kinesiology, medis, psikologi, dan pendidikan. Lebih dari itu,
seorang pelatih juga harus memiliki kualifikasi personal dan moral yang
memadai. Seorang pelatih juga harus
memiliki pola kepemimpinan yang baik untuk digunakan dalam melatih atletnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa pengertian Pelatih?
1.2.2
Bagaimana Pola Kepemimpinan Pelatih?
1.2.3
Apa saja Kemampuan Dasar yang harus
dimiliki seorang Pelatih?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Untuk mengetahui pengertian Pelatih.
1.3.2
Untuk mengetahui Pola Kepemimpinan
Pelatih.
1.3.3
Untuk mengetahui Kemampuan Dasar yang
harus dimiliki seorang Pelatih.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pelatih
Istilah
pelatih dan kepelatihan yang merupakan terjemahan dari istilah “coach” dan “coaching” sekarang bukan lagi monopoli atau hanya dipakai dalam
dunia olahraga, tetapi telah merambah jauh ke bidang-bidang lain seperti
militer, perusahaan, pendidikan, dan seni. Secara umum pelatih dipahami sebagai
orang yang dianggap ahli untuk mempersiapkan orang atau sejumlah orang untuk
menguasai keterampilan tertentu. Sejumlah karyawan Bank yang ingin menguasai
system layanan dengan jaringan computer, perlu dilatih oleh orang yang ahli
dibidang itu. Demikian pula seorang atlet yang ingin terampil dalam bermain
piano, ia datang atau mendatangkan seorang pelatih untuk melatih atlet tersebut
terampil bermain piano.
Dari
ketiga contoh diatas nampak bahwa fungsi seorang pelatih tak ubahnya sebagai
teknisi yang bertugas melatih seseorang atau sekelompok orang untuk menguasai
keterampilan tertentu. Dalam dunia olahraga, tugas pelatih tidak sesederhana
itu. Akan tetapi ia juga mendidik atlet untuk berdisiplin, kerja keras, pantang
menyerah dalam menjalani setiap aktivitas, dan sebagainya. Bahkan ketika atlet
menghadapi masalah pribadi, tidak jarang mereka datang ke pelatih untuk
membantu memecahkanya. Itu sebabnya, tanggung jawab pelatih pada atlet tidak
sebatas pada persoalan teknis keolahragaan, melainkan juga tanggung jawab
pendidikan dan pengembangan pribadi.
Akhir
tahun 1960-an, Hendry yang dikutip dari Craty (1983) melakukan sebuah
penelitian tentang kepribadian seorang pelatih yang efektif menurut yang
dipresepsikan pelatih dan atlet, dalam hal ini atlet renang. Dengan menggunakan
Cattle 16 PF, Hendry memformulasikan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa
pelatih harus memiliki sosiabilitas yang tinggi dan kestabilan emosi. Mereka
yang menjadi responden penelitian ini juga menyatakan bahwa pelatih seyogyanya
juga memiliki intelegensi yang tinggi, realistic, prakis, percaya diri,
inventif, dan mampu mengambil keputusan. Yang menarik dari hasil penelitian
tersebut adalah bahwa setelah dibandingkan terdapat perbedaan profil
kepribadian actual dari pelatih sebagaimana yang di efektifkan mereka.
Perbedaan tersebut nampak setelah dihitung selisih skor antara respon actual
pelatih dengan perkiraan efektifnya.
Ogilvie
(dalam Ogilvie dan Tutko, 1966) menyatakan bahwa para pelatih profesional
umumnya memiliki kekuatan mental dan dapat menjaga ketegangan yang terkait
dengan tekanan, penonton, dan reaksi-reaksi yang muncul. Ia juga berpendapat
bahwa pelatih bertaraf nasional biasanya memiliki kedewasaan emosi, independen,
kerja keras, dan realistic. Selain itu, pelatih sebagai sebuah kelompok
cenderung betindak otoriter disbanding kelompok populasi lainnya.
Untuk
dapat menjalankan profesinya secara efektif, seorang pelatih harus memiliki
pengetahuan dasar tentang ilmu keolahragaan (sport sciences), tidak hanya
menyangkut bidang kepelatihan, tetapi juga bidang pendukung lain seperti
biomekanik/kinesiology, medis, psikologi, dan pendidikan. Lebih dari itu,
seorang pelatih juga harus memiliki kualifikasi personal dan moral yang
memadai.
2.2 Pola Kepemimpinan Pelatih
Pola
kepemimpinan diartikan sebagai cara-cara seorang pelatih bersosialisasi kepada
para atlet. Ada 3 pola kepemimpinan, yakni:
1.
Pola
kepemimpinan Otoriter
Pola
kepemimpinan otoriter dapat terjadi apabila pelatih ingin menguasai seluruh
kegiatan peletihan, termasuk kehidupan para atletnya. Seorang atlet dalam
kondisi kepemimpinan otoriter tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapat dan membela kepentingannya. Pelatih tidak menghiraukan keluhan atlet
dan lebih disiplin. Unsur-unsur dari pola kepemimpinan otoriter antara lain:
(a) segala sesuatu yang berkaitan dengan atlet ditentukan pelatih, (b) setiap
kali atlet hanya melakukan satu jenis perbuatan saja, (c) dalam memberikan
pujian (reward) dan hukuman (punishment) bersifat personal, (d) dalam
memberikan bimbingan bersifat pasif, dan (e) pelatih tidak turut secaca aktif.
Kepemimpinan
otoriter banyak menggunakan alat hukum, sehingga atet menjadi takut, juwanya
terancam dan akhirnya jiwanya menderita tidak dapat berkembang dengan wajar.
Sebagai sebuah pola kepemimpinan yang memiliki perbedaan dengan pola
kepemimpinan lainnya, maka perilaku pelatih yang otoriter dapat ditunjukkan
antara lain:
1. Atlet
harus mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan secara sepihak oleh pelatih
tanpa diperbolehkan mengajukan keberatan(membantah) dalam bentuk apapun.
2. Pelatih
memiliki kecenderungan untuk mencari-cari atau paling tidak hanya terfokus pada
kesalahan-kesalahan yang diperbuat atlet untuk selanjutnya memberlakukan
hukuman.
3. Jika
apa yang dikehendaki pelatih tidak dilakukan atau tidak dipatuhi atlet, atau
atlet memiliki pendapat yang berbeda, maka hal tersebut dianggap atau dicap
sebagai atlet yang suka melawan atau pembangkang.
4. Pelatih
cenderung lebih sering memberikan perintah dan larangan terhadap atlet dari
pada anjuran atau saran.
5. Pelatih
cenderugn memaksakan tindakan disiplin yang ketat, tanpa member kesempatan
kepada atlet untuk mengemukakan perasaan senang atau tidak senangnya.
6. Pelatih
cenderung menentukan segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan atlet dan
atlet berkewajiban untuk melaksanakannya.
Adapun
dampak yang dapat ditimbulkan dari pola kepemimpinan otoriter yang terjadi pada
atlet adalah:
1. Atlet
akan merasa tertekan, kurang teguh pada pendirian, mudah dipengaruhi orang lain
dan sering berbohong khususnya pada pelatih yang ditakutinya.
2. Atlet
menunjukkan sikap terlalu sopan, merasa tunduk pada pelatih dan patuh tidak
pada tempatnya, serta tidak berani mengeluarkan pendapat.
3. Atlet
kurang berani berterusterang disamping sangat tergantung pada orang lain.
4. Atlet
pasif dan kurang berinisiatif, sebab atlet biasa menerima apa adanya dari
pelatih.
5. Tidak
percaya pada diri sendiri karena atlet terbiasa dalam bertindak untuk mendapat
persetujuan dari pelatih.
6. Atlet
sulit berhubungan dengan orang lain, karena perilaku pelatih yang otoriter
cenderung terkesan kasar, sehingga atlet merasa bersalah dan takut mendapat
hukuman.
7. Diluar
rumah atlet cenderung agresif, suka berkelahi dan mengganggu teman sebagai
bentuk pelampiasan tindakan pengekangan yang dilakukan di rumah.
8. Atlet
cenderung ragu-ragu dalam mengambil berbagai keputusan sebab tidak terlatih
atau terbiasa mengambil keputusan sendiri.
9. Atlet
merasa rendah diri dan tidak berani mengambil keputusan sendiri.
10. Atlet
tidak mempunyai pendirian yang tetap karena mudah terpengaruh orang lain.
Sebagai
akibat dari kepemimpinan yang otoriter atlet akan mempunyai sifat yaitu:
a. Kurang
inisiatif
b. Gugup
(nervous)
c. Ragu-ragu
d. Seka
membangkang
e. Menentang
kewibawaan pelatih
f. Penakut
g. Penurut
2.
Pola
Kepemimpinan Permisif
Dalam
pola kepemimpinan permisif, pelatih kurang tegas. Atlet menentukan sendiri apa
yang dikehendaki, pelatih tidak kewibawaan dihadapan atlet-atletnya. Dengan
demikian, suasana pelatihan adalah suasana yang bebas bahkan dapat dikatakan
liar.
Tindakan
pelatih yang permisif adalah tindakan dimana pelatih terlalu memberi kebebasan
terhadap atletnya tanpa ada norma-norma yang harus ditaati, semua diserahkan
sepenuhnya kepada atlet. Pelatih tidak mau tahu (acuh tak acuh) sehingga atlet
dapat berbuat sekehendak hatinya, tanpa kendali dan control apapun dari luar
maupun dalam dirinya. Pelatih tidak mengarahkan atletnya menuju perilaku yang
positif. Prinsip pelatih atlet dapat belajar sendiri. Mencari pengalaman
sendiri dan membiarkan mencari jalan sendiri.
Tindakan
pelatih yang menganut pola kepemimpinan permisif antara lain:
1. Membiarkan
atlet bertindak sendiri, tanpa mengawasi dan membimbingnya.
2. Mendidik
atlet acuh tak acuh, bersifat pasif dan masa bodoh.
3. Hanya
memberikan kebutuhan yang bersifat material.
4. Membiarkan
apa yang dilakukan atlet tanpa ada peraturan-peraturan yang digariskan pelatih.
5. Hubungan
dengan atletnya tidak akrab dan hangat.
Adapun
ciri-ciri dari pola kepemimpinan permisif adalah sebagai berikut:
1. Atlet
menjadi agresif
2. Sukar
menyesuaikan diri
3. Emosi
kurang stabil
4. Bersifat
kurang stabil
5. Bersifat
menentang
6. Selalu
curiga
7. Keras
kepala
8. Tidak
mau diatur
3.
Pola
Kepemimpinan Otoritatif
Dalam
pola kepemimpinan otoritatif, pelatih bertindak penuh pertimbangan dan
memperhatikan keadaan, perasaan dan pendapat atlet. Pelatih sering berdiskusi
mengenai tindakan-tindakan yang harus diambil, menerangkan alasan dari
peraturan yang ada dan mendiskusikan setiap pada perselisihan. Pelatih
menghargai atlet sebagai individu dengan memberikan kesempatan pada atlet untuk
merealisasikan ide-idenya. Selain itu pelatih juga menunjukkan sikap terbuka,
toleran, dan bersedia membantu dalam memecahkan masalah yang dihadapi atlet.
Pelatihan
dengan pola kepemimpinan ini akan berusaha mencipkan suasana hnagat, terbuka
dan bila atlet-atletnya mendapat kesulitan pelatih bersedia membantu. Hubungan
ini selalu diciptakan sehingga atlet merasa aman, puas, bahagia dan tentram.
Perilaku dan tindakan pelatih yang otoritatif antara lain:
1. Melakukan
sesuatu, terutama dalam mengambil keputusan secara musyawarah.
2. Menentukan
peraturan-peraturan dan disiplin dengan memperlihatkan dan mempertimbangkan
keadaan dan perasaan pendapat atlet, serta memberikan alasan-alasan yang dapat
diterima, dipahami dan dimengerti oleh atlet.
3. Kalau
terjadi sesuatu selalu dicari jalan keluarnya (secara musyawarah), juga
dihadapi dengan tenang, wajar dan terbuka.
4. Hubungan
antar individu saling menghormati, pelatih menghormati atlet sebagai manusia
yang sedang tumbuh dan berkembang.
5. Terdapat
hubungan yang harmonis antara pelatih dan atlet.
6. Adanya
komunikasi dua arah yaitu atlet juga dapat mengusulkan dan menyarankan sesuatu
pada pelatihnya dan mempertimbangkannya.
7. Memberikan
pengarahan dan perbuatan yang baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik
supaya ditinggalkan.
8. Keinginan
dan pendapat atlet dipertahankan apabila sesuai dengan norma-norma dan
kemampuan pelatih.
9. Bukan
mendiktekan bahwa yang harus dikerjakan atlet, namun selalu disertai dengan
penjelasan-penjelasan yang bijaksana.
Adapun
pola kepemimpinan pelatih yang otoritatif akan menjadikan atlet sebagai
berikut:
1. Atlet
akan berkembang sesuai tingkat perkembangannya.
2. Daya
kreatif atlet menjadi besar dan daya ciptanya kuat.
3. Atlet
akan patuh, hormat dan penurut dengan sewajarnya.
4. Sifat
kerjasama, hubungan yang akrab dan terbuka sangat cocok dengan perkembangan
jiwa atlet, apalagi belajar, kemungkinan dia akan berhasil sesuai dengan
kemampuannya.
5. Atlet
akan menerima pelatih sebagai orang yang berwibawa.
6. Atlet
akan bisa menyesuaikan diri, oleh karena igtu dia disenangi teman-temannya.
7. Atlet
aan mudah mengeluarkan pendapat dalam diskusi dan pertemuan, atlet merasa aman
karena diliputi oleh rasa cinta, kasih sayang dan merasa diterima oleh
pelatihnya.
8. Atlet
percaya pada diri sendiri secara wajar dan disiplin yang sportif.
9. Atlet
bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya.
10. Atlet
hidup dengan penuh gairah dan optimis, merasa dihargai sebagai atlet yang
tumbuh dan berkembang serta pelatihnya mempertahankan kebutuhan minat,
cita-cita, dan kebutuhannya.
Cirri-ciri
atlet dari pelatih yang otoritatif adalah: (1) berinisiatif, (2) kreatif dan
aktif, (3) tidak penakut, (4) giat dan mantap dalam semua tindakan, (5) suka
berorganisasi. Pola kepemimpinan otoritatif lah yang seharusnya diberikan
pelatih agar atlet-atlet memahami dan menghargai apa yang diperintahkan
pelatih. Atau dengan kata lain pola kepemimpinan otoritatif lah yang tepat dan
abik untuk menghasilkan atlet yang berkualitas.
2.3 Kemampuan Dasar Pelatih Olahraga
Untuk
menjadi seorang pelatih yang baik, paling tidak harus dimiliki beberapa
kemampuan, antara lain:
1.
Kemampuan
Fisik
Ada tiga hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a.
Physical
Fitness
Physical
Fitness bagi seorang pelatih sangat penting karena pada hakekatnya dia harus
selalu siap untuk melakukan gerakan-gerakan yang dilatih. Karena keadaan
semacam itu akan mempengaruhi physic para atlet dalam menjalankan latihannya.
Maka dari itu seorang pelatih yang datang ke lapangan untuk melatih harus
kelihatan siap, baik fisik maupun mental, dengan semangat penuh dan tidak
kelihatan payah dihadapan atletnya. Tanpa adanya physical fitness yang baik
maka tidak akan terdapat kekuatan, daya tahan otot ataupun daya tahan cordial
respiratori, power, kelincahan bergerak, ketelitian bertindak, kemantapan
bergerak atau keseimbangan, kecepatan dan daya tahan terhadap penyakit.
b.
Physical
Performance atau Skill Performance
Keterampilan
melakukan gerakan-gerakan dan teknik-teknik yang diperlukan dalam cabang-cabang
olahraga yang dipimpinnya merupakan hal yang harus bisa dilakukan. Pada
saat-saat dimana para atlet belum ada yang mengetahui, sedang alat peraga yang
lain belum ada, maka seorang pelatih harus mampu mendemonstrasikan teknik yang
diinginkan.
c. Proporsi
Fisik yang Harmonis dan Sesuai
Untuk memberian
kesan pertama yang mantap maka mengenai proporsi fisik yang harmonis dan sesuai
sangat diperlukan. Perwujudan tubuh mungkin akan menjadi sumber ketawaan
apabila tidak harmonis, apabila tidak sesuai dengan cabang olahraga yang
dipimpinnya. Untuk tiap-tiap cabang olahraga, selalu ada bentuk-bentuk tubuh
yang ideal yang dengan sendirinya untuk cabang olahraga yang satu mungkin
berbeda dengan olahraga yang lain. Demikianlah untuk kesan pertama, kemampuan
fisik itu sangat menentukan bagi kelancaran kerja seorang pelatih.
2.
Kemampuan
Psikis
Ada beberapa hal yang perlu
mendapatkan perhatian dalam kemampuan psikis ini diantaranya ialah:
a. Memiliki
pengetahuan yang luas tentang bidangnya baik secara teoritis maupun praktis
Seorang pelatih
harus selalu berusaha untuk menambah serta menyempurnakan pengetahuan terhadap
bidangnya baik yang langsung berhubungan dengan olahraga yang dipimpinnya
ataupun pengetahuan ynag tidak langsung seperti ilmu-ilmu yang ikut menunjang
ilmu olahraga lain, seperti: Pengetahuan tentang Mental Hygine, Ilmu Jiwa,
Anatomi dan Fisiologi, Evaluasi dan Penyusunan Tes, Metode Penelitian, Tes dan
Pengukuran, dan sebaginya.
b. Memiliki
IQ yang tinggi
Kecakapan serta
kelincahan berpikir sangat menentukan bagi pemecahan persoalan-persoalan yang
dihadapi. Semakin cepat proses berpikir seorang pelatih, semakin cepat pula
dalam memecahkan sebuah masalah, semakin banyak berkurang hambatan yang
dihadapi maka usaha peningkatan prestasi segera dapat terealisir. Untuk dapat
diwujudkannya hal-hal tersebut, maka tinggi-rendahnya IQ seorang pelatih sangat
menentukan. Semakin tinggi IQ seorang
pelatih semakin cepat masalah dapat dipecahkan, dan semakin rendah IQ maka
semakin lamban pula persoalan-persoalan yang dapat diselesaikan.
c. Memiliki
daya imaginasi serta daya kreasi yang mengagumkan
Seorang pelatih
harus dapat menciptakan hal-hal yang baru yang lebih baik dari pada yang
sudah-sudah. Tidak boleh lekas puas dengan hanya selalu meniru kerja dari pada
pelatih-pealtih lain saja. Apabila seorang pelatih tidak dapat menciptakan
hal-hal yang baru maka sudah jelas ia akan banyak ketinggalan dalam usaha-usaha
peningkatan prestasi. Untuk dapat menciptakan atau mengkreasikan sangat
dibutuhkan akan adanya persoalan, pengetahuan, pengalaman, dan keberanian serta
daya imaginasi yang baik terjadap apa yang akan diciptakan.
d. Memiliki
keberanian bertindak dan berkemauan keras untuk menang dalam batas-batas
sportifitas
Keberanian
bertindak adalah esensiil. Tanpa adanya keberanian bertindak apapun yang telah
direncanakan, maka tidak akan menjadi kenyataan. Dan tidak akan pernah
diperoleh pengalaman-pengalaman yang berharga bagi tindakan-tindakan
selanjutnya. Atas dasar hasil-hasil yang dicapai maka seorang pelatih harus
dapat melangkah maju lagi dengan selalu menanyakan pada dirinya sendiri dengan
pertanyaan “apa kemudian yang harus saya lakukan demi perbaikan dan
penyempurnaan”, dan demikian seterusnya. Sedang adanya kemauan yang keras untuk
menang dalam batas-batas sportifitas, dimaksudkan agar setiap pelatih selalu
ada dorongan untuk mengusahakan atau menciptakan hal-hal yang penting demi
peningkatan prestasi, tanpa mengurangi jiwa olahraga itu sendiri, yaitu adanya
sportifitas yang tinggi.
e. Memiliki
kecintaan dan dedikasi terhadap bidangnya
Kecintaan serta
dedikasi merupakan motor bagi pelatih untuk lebih tekun berusaha kea rah
penyempurnaan cabang-cabang olahraga yang dipimpinnya. Tanpa adanya dedikasi
seorang pelatih akan lebih mudah teromabng-ambing oleh hal-hal yang
kadang-kadang yang dapat menyimpang dari jiwa olahraga. Karena kecintaan
merupakan motor atau daya gerak kea rah usaha-usaha, sedang dedikasi merupakan
kekuatan untuk mengarahkan usaha-usaha tersebut agar tidak menyeleweng dari
tujuan yang sebenarnya, sehingga kedua unsure itu betul-betul sangat diperlukan
adanya pada setiap pelatih.
3.
Kemampuan
Pengendalian Emosi
Yang termasuk
dalam kemampuan pengendalian emosi adalah:
a. Memiliki
Mental Health Yang Baik
Seorang pelatih
harus memiliki keseimbangan mental yang baik untuk dapat lebih mudah
mengahadapi persoalan atletnya, artinya tidak ada hal-hal yang berat sebelah
pada diri pribadinya. Seorang pelatih tidka boleh mudah terkena shock physchologis
serta harus bisa cepat menyesuaikan diri sesuai dengan situasinya. Menurut para
ahli dalam Kesehatan Mental, ada tiga criteria yang harus dipenuhi untuk dapat
dikatakan memiliki mental health ynag baik, yaitu:
1. Memiliki
pandangan sehat terhadap kemyataan baik terhadap dirinya sendiir ataupun
terhadap sekitarnya.
2. Adanya
kecakapan menyesuaikan diri pada segala kemungkinan dan memiliki kemampuan
mengatasi persoalan yang dapat diatasi.
3. Mencapai
kepuasan pribadi, ketenangan hidup tanpa merugikan orang lain.
b. Memiliki
Sense of Humor
Sense of humor
sangat penting untuk memecahkan ketegangan-ketegangan saraf yang setiap saat
dapat timbul dalam menghadapi pertandingan-pertandingan dan menghadapi
persoalan-persoalan yang pelik secara rileks. Apabila gejala ketegangan ini
Nampak maka seorang pelatih harus dapat menguranginya dan hal ini hanya mungkin
bila pada diri pelatih hanya memiliki Sense of Humor.
4.
Kemampuan
Sosial
Yang
terpententing bagi seorang pelatih adalah:
a. Mudah
bergaul dan dapat memfungsikan dirinya sesuai dengan situasi yang dihadapi
b. Memiliki
tingkah laku serta tutur bahasa yang dapat dibenarkan dan dapat diterima di
masyarakat.
5.
Kemampuan
Mewujudkan, Kemampuan Fisik, Kemampuan Psikis, Emosi serta Sosial yang
dilandasi Oleh Rasa Tanggungjawab dan Pengabdian demi Peningkatan Prestasi Para
Atlet ataupun cabang Olahraga yang Dipimpinnya
Persoalan yang
terakhir inilah yang merupakan kunci dari keberhasilan seorang pelatih. Hal ini
sangat bergantung pada banyak sedikitnya pengalaman yang telah dialami dan
sampai berapa jauh dia telah mempelajari pengalaman-pengalaman tersebut.
Pengalaman untuk mengetrapkan semua yang telah dimiliki yaitu berupa
kemampuan-kemampuan baik yang berwujud kemampuan-kemampuan fisik, psikis
ataupun cara-cara pengendalian emosi dan approach sosial sangat besar
manfaatnya. Mungkin seorang pelatih mempunyai kekurangan-kekurangan dalam salah
satu kemampuan tetapi dapat mengimbanginya dengan kemampuan lain. Lebih baik
kalau seorang pelatih mengutarakan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya
kepada para atletnya daripada menutupinya dengan usaha-usaha yang bersifat over
kompensasi. Seorang pelatih akan dijadikan manusia mode bagi para atletnya.
Jadi sebaiknya seorang pelatih tidak mempunyai sifat-sifat yang tercela.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum
pelatih dipahami sebagai orang yang dianggap ahli untuk mempersiapkan orang
atau sejumlah orang untuk menguasai keterampilan tertentu. Pola kepemimpinan
diartikan sebagai cara-cara seorang pelatih bersosialisasi kepada para atlet.
Ada 3 pola kepemimpinan, yakni:
1. Pola
kepemimpinan Otoriter
2. Pola
Kepemimpinan Permisif
3. Pola
Kepemimpinan Otoritatif
Untuk
menjadi seorang pelatih yang baik, paling tidak harus dimiliki beberapa
kemampuan, antara lain:
1. Kemampuan
Fisik
2. Kemampuan
Psikis
3. Kemampuan
Pengendalian Emosi
4. Kemampuan
Sosial
3.2 Saran
Untuk menjadi
seorang pelatih maka dibutuhkan Pola Kepemimpinan Pelatih yang baik dan
Kemampuan Dasar yang harus dimiliki oleh seorang pelatih sehingga dapat
menciptakan dan meningkatkan prestasi para atletnya.
mantap gan artikelna sangat lengkap, bisa nambah buat refrensi ane nich, salam kenal dan juga kalao sempat mampir ke blog ane gan zonapelatih.net
BalasHapus